Jumat, 01 Juni 2012
Sintaksis I
Sintaksis (Yunani: Sun + tattein = mengatur bersama-sama) adalah bagian dari tatabahasa yang mempelajari dasar-dasar dan proses-proses pembentukan kalimat dalam suatu bahasa.
Penelitian bidang fonetis, morfologis dan struktur frasa dari suatu bahasa merupakan bagian dari Ilmu Bahasa yang masih bersifat statis. Dalam sintaksis bidang-bidang statis seolah-olah digerakkan dan dihidupkan ke dalam kesatuan gerak yang dinamis, diikat dan dijalin ke dalam berbagai macam konstruksi.
Setiap bahasa mempunyai sistem-sistem yang khusus untuk mengikat kata-kata atau kelompok-kelompok kata ke dalam suatu gerak yang dinamis. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan untuk menyusun tatakalimat suatu bahasa dengan menerapkan begitu saja sintaksis bahasa lain, seperti yang dilakukan oleh ahli-ahli tatabahasa lama. Sintaksis suatu bahasa haruslah merupakan perumusan dari berbagai macam gejala susun-peluk kata-kata dalam suatu bahasa. Bahwa nanti ada persamaan tatakalimat suatu bahasa dengan bahasa lain, haruslah merupakan hasil perbandingan yang diadakan antara bahasa-bahasa tersebut, tetapi bukan sebagai hasil penerapan sintaksis bahasa lain.
Kata, Frasa, dan Klausa
Bila kita melihat tata tingkat atau hirarki dalam bahasa, maka urutan itu dari yang terkecil sampai yang paling luas beserta bidang ilmunya masing-masing adalah:
Bidang Ilmu Tataran
Fonologi Fon/fonem
Suku kata
Morfologi Morfem
Kata
Sintaksis Frasa
Klausa
Kalimat
Wacana Alinea
Bagian (sejumlah alinea)
Anak bab
Bab
Karangan yang utuh
Semua unsur di atas disebut unsur segmental, yaitu unsur-unsur yang dapat dibagi-bagi menjadi bagian atau segmen-segmen yang lebih kecil. Di samping unsur segmental terdapat juga unsur suprasegmenta, yang kehadirannya tergantung dari unsur-unsur segmental. Unsur suprasegmental mulai hadir dalam tataran kata sampai wacana: nada, tekanan keras, panjang, dan intonasi.
Dengan demikian kata merupakan suatu unsur yang dibicarakan dalam morfologi, sebaliknya frasa dan klausa berdasarkan strukturnya termasuk dalam sintaksis.
Frasa adalah suatu konstruksi yang terdiri dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan. Kesatuan itu dapat menimbulkan suatu makna baru yang sebelumnya tidak ada. Misalnya dalam frasa rumah ayah muncul makna baru yang menyatakan milik, dalam frasa rumah makan terdapat pengertian baru ‘untuk', sedangkan frasa obat nyamuk terdapat makna baru ‘untuk memberantas'.
Sebaliknya klausa adalah suatu konstruksi yang di dalamnya terdapat beberapa kata yang mengandung hubungan fungsional, yang dalam tatabahasa lama dikenal dengan pengertian subyek, predikat, obyek, dan keterangan-keterangan. Sebuah klausa sekurang-kurangnya harus mengandung satu subyek, satu predikat, dan secara fakultatif satu obyek; dalam hal-hal tertentu klausa terdiri dari satu predikat dan boleh dengan keterangan (bentuk impersonal). Misalnya:
1. Saya menyanyikan sebuah lagu.
2. Adik membaca buku.
3. Anak itu menangis.
4. Ia sudah bangun.
5. Diberitahukan kepada umum.
6. Demikian diceriterakan.
7. Sementara adik menyanyikan sebuah lagu, saya membaca buku.
8. Ia makan, karena (ia) lapar.
Konstruksi nomor 1 sampai dengan 6 membentuk satu klausa, dan sekaligus sebuah kalimat. Sebaliknya konstruksi nonor 7 dan 8 merupakan sebuah kalimat yang terdiri dari dua klausa.
Sementara itu, jika kita mendengar orang mengucapkan:
1. “Maling!” “Pergi!” “Keluar!”
2. “Rumah ayah.” sebagai jawaban atas pertanyaan, “Rumah siapa itu?”
3. “Karena lapar.” Sebagai jawaban atas pertanyaan, “Mengapa kamu malas bekerja?”
Semua konstruksi di atas diterima juga sebagai kalimat, walaupun contoh-contoh dalam nomor 9 hanya terdiri dari satu kata, sedangkan nomor 10 dan 11 terdiri dari frasa.
Jika demikian, sebuah kata, sebuah frasa, atau sebuah klasa dapat menjadi sebuah kalimat. Tetapi di mana letak perbedaannya? Kita menyebutnya sebagai kata, frasa, atau klausa, semata-mata berdasarkan unsur segmentalnya. Sebaliknya unsur kata, frasa, dan klausa dapat dijadikan kalimat jika diberikan kepadanya unsur suprasegmental—dalam hal ini intonasi.
Jadi: Kata + intonasi > kalimat
Frasa + intonasi > kalimat
Klausa + intonasi > kalimat
Kalimat
A. Batasan Kalimat
Kalimat adalah satu bagian ujaran yang didahului dan diikuti oleh kesenyapan sedangkan intonasinya menunjukkan bahwa bagian ujaran itu sudah lengkap.
Tutur seseorang, atau lebih sempit lagi, kalimat yang diungkapkan oleh seseorang dengan sendirinya mencakup beberapa segi:
1. Bentuk ekspresi
2. Intonasi
3. Makna atau arti
4. Situasi
Bentuk ekspresi diwujudkan oleh kata atau rangkaian kata-kata yang diikat oleh tatasusun yang dimiliki oleh tiap-tiap bahasa. Kata-kata sudah mencakup bidang morfologi dan fonetik bahasa, sedangkan tatasusun mencakup bidang sintaksisnya.
Intonasi meliputi bidang suprasegmentalnya atau disebut juga ciri-ciri prosodi. Bila kita sudah berbicara tentang kalimat mau tidak mau kita harus berbicara tentang intonasi. Sedangkan situasi adalah suasana di mana tutur itu dapat timbul, atau stimulus yang menyebabkan terjadinya proses ujaran tadi.
Jalinan dari semua bidang itu, yaitu tatasusun kata-kata, intonasi dan situasi akan menentukan makna dari tutur itu. Situasi sebaliknya akan menyebabkan kita memilih kata-kata tertentu, memilih susunan kata tertentu, serta mempergunakan intonasi tertentu pula.
B. Kontur
Kontur adalah suatu bagian dari arus ujaran yang diapit oleh dua kesenyapan.
Perhatikan kata-kata berikut.
1. Diam!
2. Pergi!
3. Ia mengambil buku itu.
4. Dia ada di dalam.
Kalimat-kalimat di atas terdiri dari satu kontur, karena didahului oleh satu kesenyapan yang disebut kesenyapan awal dan kesenyapan akhir atau final. Kesenyapan awal adalah kesenyapan yang mendahului bagian suatu arus ujaran, sedangkan kesenyapan akhir atau kesenyapan final adalah kesenyapan yang mengakhiri suatu tutur.
Di samping itu dapat terjadi perhentian sementara di tengah-tengah suatu arus ujaran yang berlangsung dalam suatu waktu yang pendek; kesenyapan ini disebut kesenyapan antara atau kesenyapan non-final. Jadi dalam suatu tutur dapat timbul suatu kontur, tetapi dapat pula terjadi bahwa akan timbul lebih dari satu kesenyapan non-final pada arus ujaran tersebut yang mengakibatkan bahwa arus ujaran itu terbagi dalam dua kontur atau lebih. Misalnya:
1. Hari ini / adalah hari Proklamasi.
2. Ramailah mereka makan di bawah lumbung / tertawa-tawa / sambil mereka minum tuak.
3. Lebih-lebih di waktu malam / pekerjaan membuka kantung / dan membagi-bagi surat tercatat ini / dikerjakan dalam suasana dikejar-kejar / karena surat itu harus dibuatkan surat panggilannya / yang telah ditunggu oleh bagian ekspedisi / untuk kemudian didistribusikan oleh para pengantar pos / petang itu juga.
Kalimat pertama memperlihatkan bahwa ada satu perhentian non-final, yang membagi kalimat itu atas dua kontur. Kalimat kedua menunjukkan bahwa ada dua kesenyapan non-final yang menyebabkan kalimat itu terbagi atas 3 kontur, sedangkan kalimat ketiga terdapat 7 kesenyapan non-final yang membagi kalimat itu atas 8 kontur.
Dengan demikian kita dapat membagi bermacam-macam kontur berdasarkan kesenyapan-kesenyapan yang mengapitnya:
1. Kontur yang diapit oleh kesenyapan awal dan kesenyapan final.
2. Kontur yang diapit oleh kesenyapan awal dan kesenyapan non-final.
3. Kontur yang diapit oleh kesenyapan non-final dan kesenyapan non-final.
4. Kontur yang diapit oleh kesenyapan non-final dan kesenyapan final.
3. Macam-Macam Kalimat
Macam-macam kalimat yang akan dibicarakan di sini ialah:
Kalimat Minim dan Kalimat Panjang
Untuk mendapat gambaran yang jelas tentang kedua macam kalimat yang dipertentangkan itu, perhatikan kalimat-kalimat berikut:
1. Diam!
2. Pergi!
3. Amat mahal!
4. Yang baru!
5. Yang akan datang!
6. Sudah siap!
7. Ia mengambil buku itu.
8. Dia ada di dalam.
9. Kami pergi ke Bandung .
Kalimat 1 dan 2 hanya terdiri dari satu patah kata saja, tidak lebih dari itu, serta diapit oleh kesenyapan awal dan kesenyapan final. Kita semua akan menerima bahwa kata-kata itu sudah merupakan sebuah kalimat karena adanya unsur-unsur yang lengkap: ekspresi, intonasi, arti dan situasi. Intonasinya menunjukkan bahwa ujaran itu sudah final. Dan kalimat itu terdiri dari satu kontur.
Kalimat 3 dan 4 terdiri dari dua patah kata, sedangkan kalimat 5 terdiri dari tiga patah kata. Situasi yang dimasuki kalimat-kalimat itu misalnya menjawab pertanyaan orang lain. Dalam hal ini kalimat-kalimat tersebut mengandung semua unsur yang diperlukan untuk menyebutnya sebagai kalimat. Struktur ketiga kalimat itu berbeda dengan struktur kalimat keenam walaupun kalimat 6 terdiri dari dua patah kata. Perbedaan itu terletak pada kemungkinan pemecahan kalimat-kalimat tersebut atas bagian-bagian yang lebih kecil. Kalimat ketiga, keempat dan kelima tidak bisa dipecahkan lagi dalam posisi lepas, yang dapat berdiri sendiri sebagai tutur. Masing-masing bagian dari kalimat 6 dapat berdiri sendiri sebagai suatu kalimat.
Bagian-bagian dari kalimat 3, 4, dan 5 ( mahal, baru, dan datang) dapat menduduki posisi lepas, jadi dapat berdiri sendiri sebagai kalimat jika perlu; tetapi—amat, yang dan akan, tidak bisa berdiri sendiri dalam posisi yang demikian. Kata-kata yang, akan, amat, selalu mengikat kata-kata berikutnya untuk dapat bersama-sama muncul dalam suatu tutur. Ikatan itu dapat membentuk satu kontur, atau lebih tepatnya hanya bisa membentuk satu kontur saja. Lain halnya dengan kalimat / sudah siap! /. Tiap bagian kalimat ini dapat muncul dalam posisi lepas, dan masing-masingnya dapat memasuki satu kalimat dengan satu kontur bila perlu (menjadi ‘sudah' saja atau ‘siap' saja).
Kalimat 7, 8, dan 9 merupakan gabungan dari bermacam-macam kalimat di atas.
Jadi pada prinsipnya bagian dari kalimat itu dapat pula membentuk satu kalimat lagi.
Inti dari semua uraian ini adalah: bahwa ada kalimat yang dapat dipecahkan lagi atas kontur-kontur dan ada yang tidak. Pemecahan atas kontur-kontur itu secara potensial terdiri atas kata-kata yang dapat membentuk satu kalimat tersendiri, dan juga sebaliknya, ada kata yang tidak bisa membentuk kalimat lagi. Inilah yang menjadi ciri kalimat yang disebut kalimat minim dan kalimat panjang.
Batasan: Kalimat minim adalah kalimat yang tidak dapat dipecahkan atas kontur-kontur yang lebih kecil lagi. Contoh: kalimat 1, 2, 3, 4, dan 5.
Kalimat panjang adalah kalimat yang secara potensial dapat dipecahkan lagi atas kontur-kontur yang lebih kecil. Contoh: kalimat 6, 7, 8, dan 9.
Kalimat Minor dan Kalimat Mayor
Pembedaan kalimat atas kalimat minim dan kalimat panjang merupakan hasil tinjauan dari segi kontur. Tetapi bukan hanya dari segi kontur saja dapat kita teliti hakekat sebuah kalimat. Kita dapat melihat dari segi lain, misalnya melihat adanya unsur-unsur pusat yang membina kalimat tersebut.
Kita mengambil lagi contoh-contoh yang digunakan pada saat membahas kalimat minim dan kalimat panjang, dengan mengadakan pengelompokan yang lain:
1. Diam!
2. Pergi!
3. Amat mahal!
4. Yang baru!
5. Yang akan datang!
6. Sudah siap!
7. Ia mengambil buku itu.
8. Dia ada di dalam.
9. Kami pergi ke Bandung.
Diam dan pergi masing-masingnya telah membentuk satu pusat atau inti . Kalimat-kalimat 3, 4, 5, dan 6, masing-masingnya mengandung satu pusat atau inti yaitu mahal, baru, datang dan siap. Unsur-unsur yang lain merupakan unsur-unsur tambahan atau unsur penjelasan terhadap unsur inti tadi.
Kalimat 7, 8, dan 9 mengandung dua unsure pusat atau inti, yaitu ia an mengambil (kalimat 7), dia dan ada (kalimat 8), kami dan pergi (kalimat 9). Unsur-unsur buku itu, di dalam, dan k e Bandung adalah unsur-unsur tambahan pada unsur pusat tersebut.
Atas dasar pengertian yang baru ini yaitu dengan meninjau unsur-unsur pusat atau inti yang membentuk sebuah kalimat dapat dibedakan kalimat-kalimat atas: kalimat minor dan kalimat mayor.
Batasan: Kalimat minor adalah kalimat yang hanya mengandung satu unsur pusat atau inti (kalimat 1, 2, 3, 4, 5, dan 6).
Kalimat mayor adalah kalimat yang sekurang-kurangnya mengandung dua unsur pusat atau inti (kalimat 7, 8, dan 9).
Kalimat Inti dan Kalimat Transformasional
Taraf lain yang akan menjadi persoalan selanjutnya adalah meneliti kalimat-kalimat mayor. Kalimat mayor inilah yang akan menurunkan bermacam-macam persoalan, dari kalimat inti, sampai kepada kalimat transformasional, dari kalimat tunggal sampai kepada kalimat majemuk.
Pendeknya, kalimat mayor menjadi dasar strategi dalam pengamatan tutur yang lebih kompleks.
Berdasarkan hakekat bentuk kata, kata-kata dapat dibagi atas empat macam, yaitu: kata benda, kata kerja, kata sifat , dan kata tugas. Kata tugas fungsinya pertama-tama untuk memperluas sebuah kalimat. oleh karena itu wujud sebuah kalimat yang paling sederhana dalam kalimat mayor haruslah terbentuk dari ketiga jenis kata yang lain. Wujud dari gabungan yang paling minim sebagai inti dari suatu kalimat mayor haruslah selalu terdiri dari dua unsur . Dari kedua unsur inilah kelak dapat diperluas dengan berbagai macam unsur tambahan yang lain sehingga terdapatlah kalimat-kalimat yang kompleks.
Jenis kalimat mayor yang hanya terdiri dari dua unsur pusat itu disebut kalimat inti, untuk mempertentangkannya di satu pihak dengan kalimat luas, yaitu kalimat yang mengandung dua unsur pusat disertai satu atau lebih unsur tambahan yang lain. Di pihak lain Kalimat Inti ini kita pertentangkan dengan Kalimat Transformasional, yaitu perubahan dari struktur-struktur kalimat inti menjadi suatu struktur yang baru.
Jadi pengertian kalimat transformasional dengan sendirinya juga mencakup kalimat luas. Tetapi bukan hanya itu saja, perubahan sususnan kalimat inti, perubahan intonasi kalimat inti juga termasuk ke dalam kalimat transformasional, walaupun terdiri dari dua unsur pusat. Jadi pengertian kalimat inti haruslah mencakup beberapa ketentuan berikut:
1. Mengenai tata-urut katanya.
2. Mengenai intonasinya. Intonasinya selalu intonasi yang paling netral, artinya intonasi itu tidak boleh menyebabkan perubahan atau pergeseran arti leksikalnya.
3. Mengenai jumlah katanya, hanya dua kata.
4. Mengenai unsur pusatnya: kedua kata itu sekaligus menjadi unsur pusat atau inti kalimat.
Bila salah satu syarat di atas tidak dipenuhi lagi, maka kalimat itu bukan kalimat inti.
Kalimat transformasional harus menunjukkan bahwa sudah timbul perubahan-perubahan pada kalimat inti, baik berupa perubahan intonasi, perubahan susunan kata, penambahan unsur-unsur segmental yang baru pada unsur-unsur inti tadi.
Sintaksis II - Kalimat Tunggal
Kalimat Tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari dua unsur inti dan boleh diperluas dengan satu atau lebih unsur-unsur tambahan, asal unsur-unsur tambahan itu tidak boleh membentuk pola yang baru.
Batasan ini menegaskan sekali lagi kepada kita bahwa semua kalimat inti termasuk dalam pengertian Kalimat Tunggal, sedangkan sebagian dari Kalimat Luas juga termasuk Kalimat Tunggal.
Contoh:
• Adik menangis : adalah kalimat mayor, kalimat tunggal, dan kalimat inti, bukan kalimat luas.
• Menangis adik : adalah kalimat mayor, kalimat tunggal, tetapi bukan kalimat inti, dan bukan kalimat luas.
• Kemarin saya belajar saja di rumah : kalimat mayor, kalimat tunggal, bukan kalimat inti, tetapi kalimat luas.
Sebaliknya kalimat-kalimat tunggal yang diperluas sekian macam hingga unsur-unsur baru itu membentuk satu atau lebih pola kalimat lagi, maka kalimat itu desibut Kalimat Majemuk. Jadi dalam kalimat majemuk akan kita junpai minimal dua pola kalimat dan tiap-tiap pola boleh diperluas lagi dengan satu atau lebih unsur–unsur tambahan.
Kesimpulannya, tunggal dan majemuknya suatu kalimat, haruslah dilihat dari banyaknya pola kalimat yang ada pada sebuah kalimat. Jika hanya ada satu pola kalimat maka itu adalah kalimat tunggal; jika kalimat itu memiliki dua pola kalimat atau lebih, kalimat itu disebut kalimat majemuk.
1. Macam-Macam Kalimat Tunggal
Berdasarkan macamnya kalimat tunggal dapat digolongkan atas:
Kalimat Berita
Kalimat berita adalah kalimat yang mendukung suatu pengungkapan peristiwa atau kejadian. Orang yang menyampaikan peristiwa tersebut, berusaha mengungkapkannya seobyektif mungkin. Ia boleh menyampaikan suatu hal secara langsung, yakni langsung mengucapkan tutur orang lain, atau menyampaikan secara tak langsung dengan pengolahannya sendiri. Oleh karena itu kalimat berita dapat berbentuk ucapan langsung atau ucapan tidak langsung.
Contoh: a. Ucapan langsung:
1. Ia mengatakan, “Saya tak mau membayar hutang itu.”
2. “Dahulu orang yang masyhur itu berdiam di sini,” katanya sejurus kemudian.
b. Ucapan tak langsung:
1. Ayah membeli sebidang tanah.
2. Ia pernah sekali datang ke mari.
Ciri-ciri formal yang dapat membedakan kalimat berita dari macam-macam kalimat yang lain hanyalah intonasinya yang netral, tak ada suatu bagian yang lebih dipentingkan dari yang lain. Susunan kalimat tak dapat dijadikan ciri-ciri karena susunannya hampir sama saja dengan susunan kalimat-kalimat lain. Kadang-kadang kita mendapat ciri formal lain, misalnya kata-kata tanya pada kalimat tanya, serta macam-macam kata tugas pada beberapa macam kalimat perintah.
Suatu bagian dari kalimat berita dapat dijadikan pokok pembicaraan. Dalam hal ini bagian tersebut dapat ditempatkan di depan kalimat, atau bagian yang bersangkutan mendapat intonasi yang lebih keras. Intonasi yang lebih keras yang menyertai kalimat berita semacam ini disebut intonasi pementing.
Kalimat Tanya
Yang dimaksud dengan kalimat tanya adalah kalimat yang mengandung suatu permintaan agar kita diberitahu sesuatu karena kita tidak mengetahui sesuatu hal.
Bila kita membandingkan kalimat tanya dengan kalimat berita maka terdapat beberapa ciri yang dengan tegas membedakannya dengan kalimat berita.
Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Intonasi yang digunakan adalah intonasi tanya.
b. Sering mempergunakan kata tanya.
c. Dapat pula mempergunakan partikel tanya –kah.
Kata-kata tanya yang biasa digunakan dalam sebuah kalimat tanya, dapat digolongkan berdasarkan sifat dan maksud pertanyaan:
1. Yang menanyakan tentang benda atau hal: apa, dari apa, untuk apa, dan sebagainya.
2. Yang menanyakan tentang manusia: siapa, dari siapa, dan lain-lain.
3. Yang menanyakan tentang jumlah: berapa.
4. Yang menanyakan tentang pilihan atas beberapa hal atau barang: mana.
5. Yang menanyakan tentang tempat: di mana, ke mana, dari mana.
6. Yang menanyakan tentang waktu: bila, bilamana, kapan, apabila.
7. Yang menanyakan tentang keadaan atau situasi: bagaimana, betapa.
8. Yang menanyakan tentang sebab: mengapa, apa sebab, dan sebagainya.
Pada umumnya semua kalimat tanya mengehendaki suatu jawaban atas isi pertanyaan tersebut. Tetapi ada pula pertanyaan yang sama sekali tidak menghendaki jawaban, dan dipakai sebagai suatu cara dalam gaya bahasa; pertanyaan semacam ini disebut petanyaan retoris. Pertanyaan retoris biasa dipakai dalam pidato-pidato atau percakapan-percakapan lain di mana pendengar sudah mengetahui atau dianggap sudah mengetahui jawabannya. Ada pula semacam pertanyaan lain yang sebenarnya sama nilainya dengan perintah, di mana si penanya sudah mengetahui jawabannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sekurang-kurangnya ada 3 macam kalimat tanya:
a. Pertanyaan biasa.
b. Petanyaan retoris.
c. Pertanyaan yang senilai dengan perintah.
Di samping pembagian di atas, kalimat tanya dapat dibagi lagi menurut cakupan terhadap isi pertanyaan tersebut. Kita dapat menekan seluruh rangkaian pertanyaan itu, yang berarti tidak ada bagian yang lebih dipentingkan, atau kita hanya mementingkan salah satu bagian yang menjadi pokok pertanyaan kita. Hasil jawabannya pun akan berbeda dengan kedua macam pertanyaan tersebut.
Macam kalimat pertama akan menghasilkan jawaban ya atau tidak sedangkan pertanyaan macam yang kedua menghasilkan jawaban sesuai dengan bagian yang dipentingkan.
Jadi berdasarkan penekanan atau cakupan isi pertanyaan, kalimat tanya dapat dibagi atas:
a. Pertanyaan total: Engkau mengatakan hal itu? Ya. Tidak.
Engkau belajar bersama dia? Ya. Tidak.
b. Pertanyaan parsial: Siapa yang mengatakan hal itu? Ali.
Di mana kau belajar? Di sekolah.
Ada satu hal yang perlu diperhatikan tentang kalimat tanya. Di atas telah dikatakan bahwa ciri dari kalimat tanya adalah intonasi tanya. Tetapi dalam percakapan sehari-hari, sering terjadi bahwa dalam kalimat tanya yang memakai kata tanya tidak terdengar intonasi tanya, sedangkan kalimat tanya yang tidak memakai kata tanya selalu memakai intonasi tanya. Jadi ciri intonasi tanya dan kata tanya merupakan ciri yang amat penting bagi kalimat tanya. Tetapi bila kalimat tanya mengandung kata tanya kita boleh memilih antara: mempergunakan intonasi tanya, atau boleh juga mempergunakan intonasi berita (biasa).
Kalimat Perintah
Yang disebut perintah adalah menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu yang kita kehendaki. Perintah meliputi suruhan yang keras hingga ke permintaan yang sangat halus. Begitu pula suatu perintah dapat ditafsirkan sebagai pernyataan mengijinkan seseorang untuk mengerjakan sesuatu, atau menyatakan syarat untuk terjadinya sesuatu, malahan sampai kepada tafsiran makna ejekan atau sindiran.
Suatu perintah dapat pula berbalik dari menyuruh berbuat sesuatu menjadi mencegah atau melarang berbuat sesuatu. Makna mana yang didukung oleh kalimat perintah tersebut, tergantung pula dari situasi yang dimasukinya.
Karena itu kita dapat merinci kemungkinan kalimat perintah menjadi:
a. Perintah biasa
Contoh: Usirlah anjing itu!!
Pergilah dari sini!
b. Permintaan. Dalam permintaan sikap orang yang menyuruh lebih merendah.
Contoh: Tolong sampaikan kepadanya, bahwa ia boleh datang besok!
Coba ambilkan buku itu!
c. Ijin; memperkenankan seseorang untuk berbuat seuatu.
Contoh: Ambillah buku itu seberapa kau suka!
Masuklah ke dalam jika Anda mau!
d. Ajakan.
Contoh: Marilah kita beristirahat sebentar!
Baiknya kamu menyusul dia ke sana !
e. Syarat; semacam perintah yang mengandung syarat untuk terpenuhinya suatu hal.
Contoh: Tanyakanlah kepadanya, tentu ia akan menerangkannya kepadamu!
f. Cemooh atau sindiran; perintah yang mengandung ejekan, karena kita yakin bahwa yang diperintah tak akan melakukannya.
Contoh: Buatlah itu sendiri, kalau kau bisa!
Pukulah ia kalau kau berani!
g. Larangan: semacam perintah yang mencegah berbuat sesuatu.
Contoh: Jangan lewat sini!
Jangan bicara!
Setelah mengadakan perincian isi bermacam-macam kalimat perintah, baiknya kita melihat ciri-ciri kalimat perintah, agar lebih jelas perbedaan antara kalimat perintah, kalimat tanya, dan kalimat berita.
Ciri-ciri suatu kalimat perintah:
a. Intonasi keras (terutama perintah biasa dan larangan).
b. Kata kerja yang mendukung isi perintah itu biasanya merupakan kata dasar.
c. Mempergunakan partikel pengeras –lah¬.
2. Uraian Kalimat Tunggal
Uraian kalimat tidak lain daripada usaha menentukan atau memperinci fungsi-fungsi yang didukung oleh kata atau kelompok kata yang membentuk sebuah kalimat. Untuk itu, di sini akan dibahas mengenai kelompok kata yang disebut gatra (saat ini istilah gatra tidak dipergunakan lagi). Untuk lengkapnya, lihat Hakekat Gatra.
A. Macam-Macam Gatra
Perincian dari pada berjenis-jenis gatra itu dapat diurutkan sebagai berikut:
1. Gatra-gatra Inti
Adalah gatra pangkal, gatra diterangkan, gatra digolongkan (ketiganya saat ini disebut Subjek), gatra perbuatan, gatra menerangkan, gatra menggolongkan (saat ini disebut Predikat)
2. Gatra-gatra Tambahan
Gatra-gatra tambahan ini sifatnya bermacam-macam tergantung dari kata yang dijelaskannya, ada yang menerangkan kata kerja dalam suatu fungsi tertentu, ada yang menerangkan kata benda, ada yang menerangkan kata sifat dalam fungsi-fungsi tertentu, dalam hal ini biasa disebut Keterangan.
Keterangan yang Menerangkan Kata Kerja
Keterangan yang menerangkan kata kerja dalam suatu fungsi tertentu, dapat dibagi lagi melihat hubungannya dengan gatra yang didukung oleh kata kerja itu:
i) Yang rapat: Gatra pelengkap penderita
Gatra pelengkap penyerta
Gatra pelengkap pelaku
ii) Yang renggang:
1) Keterangan tempat (keterangan lokatif): menjelaskaan dalam ruang mana suatu perbuatan atau peristiwa berlangsung; biasanya dinyatakan oleh kelompok kata yang didahului kata-kata tugas di, ke, dari, pada, dan lain-lain.
Contoh: Ibu tinggal di rumah, ayah pergi ke kantor.
2) Keterangan waktu (keterangan temporal): menjelaskan dalam bidang waktu manakah suatu perbuatan itu terjadi; biasanya dinyatakan dengan kata-kata tugas kemarin, sekarang, besok, lusa, dan sebagainya.
Contoh: Besok kami akan berangkat ke luar negeri.
3) Keterangan alat (keterangan instrumental): menerangkan dengan alat manakah tindakan itu dilaksanakan. Biasanya dinyatakan dengan kelompok kata dengan + kata benda.
Contoh: Saya memukul anjing itu dengan tongkat.
4) Keterangan kesertaan (keterangan komitatif): adalah keterangan yang menjelaskan ikut sertanya seseorang dalam suatu tindakan. Biasanya dinyatakan dengan kelompok kata dengan + orang dan kata tugas bersama.
Contoh: Ayah bersama ayah pergi ke pasar.
5) Keterangan sebab (keterangan kausal): adalah keterangan yang menyatakan sebab atau alasan mengapa suatu peristiwa terjadi. Keterangan ini biasanya dinyatakan oleh kata-kata tugas sebab, karena, oleh karena, dan lain-lain.
Contoh: Saya tidak ke sekolah karena sakit.
6) Keterangan akibat (konsekutif): adalah keterangan yang menjelaskan hasil atau akibat yang diperoleh karena suatu tindakan. Hasil yang dicapai ini terjadi secara wajar, bukan karena dikehendaki. Keterangan ini biasanya dinyatakan oleh kelompok kata yang didahului oleh kata-kata tugas sehingga, sampai, akibatnya.
Contoh: Kami bekerja dengan sungguh-sungguh hingga letih.
7) Keterangan tujuan (keterangan final): menjelaskan hasil dari suatu perbuatan yang dengan sengaja dikehendaki atau dicapai. Kata-kata tugas yang mendukung keterangan ini ialah untuk, guna, supaya.
Contoh: Kita belajar supaya pandai.
8) Keterangan perlawanan (keterangan konsesif): menjelaskan berlakunya suatu perbuatan berlawanan atau bertentangan dengan keadaan atau kehendak si pembicara. Kata-kata tugas yang jelas mendukung keterangan ini ialah meskipun, biarpun, walaupun, sekalipun, sungguhpun, biar.
Contoh: Meskipun hujan, ia berangkat ke sekolah.
9) Keterangan pembatasan: menjelaskan dalam batas-batas mana saja suatu perbuatan dapat dikerjakan. Kata-kata tugas yang menyatakan keterangan ini adalah kecuali, selain.
Contoh: Semuanya boleh kauambil, kecuali yang besar.
10) Keterangan situasi: keterangan yang menjelaskan dalam suasana apa suatu perbuatan berlangsung.
Contoh: Ia belajar dengan penuh kegembiraan.
Dengan tersenyum ia menjawab pertanyaanku.
11) Keterangan kualitatif: menjelaskan dengan cara mana atau bagaimana suatu peristiwa dilaksanakan.
Contoh: Ia berjalan dengan cepat.
Ia menyanyi dengan nyaring.
12) Keterangan kuantitatif: menjelaskan berapa kali suatu proses berlangsung.
Contoh: Saya bertemu anak itu dua kali.
Kerjakanlah seberapa kaudapat.
13) Keterangan perbandingan: menjelaskan bagaimana suatu perbuatan atau hal dibandingkan dengan perbuatan atau hal yang lain; kata-kata tugas yang menyatakan keterangan ini adalah sama, seperti,dan lain-lain.
Contoh: Ia sangat rajin seperti kakaknya.
14) Keterangan modalitas: menjelaskan bahwa suatu proses berlaku secara subjektif, yaitu seperti dikehendaki atau ditafsirkan oleh pembicara. Ada beberapa macam keterangan modalitas... Baca selanjutnya...
15) Keterangan Aspek: adalah keterangan yang menjelaskan terjadinya suatu proses secara objektif. Di sini sering terjadi kekacauan penafsiran, karena disamakan dengan keterangan waktu. Keterangan waktu terbatas pada penunjukan waktu seperti kemarin, besok, lusa, dan lain-lain.
Begitu pula terjadi kekacauan yang lain karena aspek-aspek ini sering disamakan dengan waktu (kala atau tense). Kata Kerja dalam bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk-bentuk gramatikal yang menyatakan kala (tense) itu. Tetapi untuk menyatakan tingkat kejadian itu secara objektif bahasa Indonesia memiliki suatu kategori gramatikal yang disebut aspek. Aspek ini di satu pihak dapat mengimbangi kedudukan tense dalam bahasa-bahasa Barat.
Keterangan-keterangan Aspek yang terpenting adalah... Baca selanjutnya...
Catatan: Segala macam keterangan di atas dapat dinyatakan secara eksplisit, dapat pula dinyatakan secara implisit. Yang dimaksudkan dengan cara eksplisit adalah bila keterangan itu dinyatakan dengan jelas memakai alat-alat bahasa, yaitu kata-kata tugas. Sedangkan cara implisit ialah tidak memakai kata-kata tugas, jadi harus ditafsirkan dari hubungan kalimat.
Keterangan yang Menerangkan Kata Benda
Yang dimaksud dengan keterangan ini adalah segala macam keterangan yang menerangkan kata-kata benda dalam suatu fungsi tertentu dalam suatu kalimat. Oleh sebab itu keterangan yang dimaksud dapat menerangkan gatra pangkal, gatra digolongkan, gatra diterangkan (subjek); gatra menggolongkan (predikat); objek penderita, objek penyerta, objek pelaku, serta kata-kata benda lain yang menduduki suatu jabatan dalam kalimat.
Sesuai dengan fungsinya yang demikian maka keterangan semacam ini sesuai dengan fungsinya untuk menerangkan kata tersebut, misalnya ada keterangan subjek, keterangan predikat, keterangan objek, dan lain-lain. Di samping itu kita bisa menyebut cara lain sesuai dengan fungsinya atau hubungannya dengan kata yang diterangkannya itu. Jika keterangan tersebut menyatakan sifat dari kata benda tersebut kita katakan keterangan kualitatif.
Contoh: Anak yang nakal itu memukul anjing.
Yang nakal dapat disebut keterangan subjek, tetapi juga dapat disebut keterangan kualitatif.
Keterangan-keterangan tentang benda yang lain dengan melihat hubungannya dengan kata benda tersebut adalah:
a. Keterangan apositif: keterangan yang menyatakan gelar dari sesuatu.
Contoh: Si Dul, jago tembak, telah mendapat hadiah nomor satu.
b. Keterangan posesif: keterangan yang menyatakan bahwa kata itu menjadi pemilik dari kata di depannya.
Contoh: Rumah ayah dibakar perampok.
c. Keterangan ablatif: menyatakan asal dari sesuatu.
Contoh: Arloji emasnya dirampas orang.
Keterangan yang Menerangkan Kata Sifat
Yang dimaksud dengan keterangan ini adalah semua keterangan yang menerangkan predikat, atau kata-kata sifat lain yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam kalimat.
Keterangan ini biasanya menunjukkan pada derajat manakah suatu predikat berada. Kata-kata tugas yang dipakai untuk menyatakan keterangan ini ialah amat, sangat, lebih, kurang, hampir, dan lain-lain. Karena keterangan ini menerangkan tentang derajat dari predikat tersebut maka kita namakan keterangan derajat.
Contoh: Tembakannya hampir mengenai sasaran.
Mereka amat menderita akibat kekalahan itu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar