Jumat, 01 Juni 2012
Morfologi
Bagian dari tata bahasa yang membicarakan bentuk kata disebut morfologi. Pengertian tentang bentuk belum jelas bila kita belum mengetahui lebih lanjut tentang wujudnya dan apa yang menjadi ciri-cirinya.
Semua arus-ujaran yang sampai ke telinga kita terdengar sebagai suatu rangkaian kesatuan. Bila kita berusaha memotong-motong suatu arus-ujaran yang sederhana seperti:
/ p e k e r j a a n m e r e k a m e m u a s k a n /
maka potongan-potongan (segmen) yang akan kita dapat yaitu potongan-potongan yang merupakan kesatuan yang langsung membina kalimat itu adalah: pekerjaan, mereka dan memuaskan . Unsur mereka di satu pihak tidak dapat dipecahkan lagi, sedangkan unsur pekerjaan dan memuaskan masih dapat dipecahkan lagi menjadi: kerja dan pe-an , serta puas dan me-kan.
Unsur-unsur kerja dan puas dapat pula dengan langsung membentuk kalimat seperti tampak dalam contoh berikut:
• Kerja itu belum selesai
• Saya belum puas
Sebaliknya unsur-unsur pe-an dan me-kan tidak bisa langsung membentuk sebuah kalimat. Unsur-unsur ini juga tidak bisa berdiri sendiri, selalu harus diikatkan kepada unsur-unsur lain seperti puas, kerja, dan lain-lain. Untuk ikut serta dalam membentuk sebuah kalimat, unsur-unsur pe-an dan me-kan pertama-tama harus digabungkan dengan unsur puas dan kerja.
A. Morfem
Kedua macam unsur itu, baik kerja dan puas , maupun pe-an dan me-kan mempunyai suatu fungsi yang sama yaitu membentuk kata. Unsur pembentuk itu, baik yang bebas ( kerja dan puas ) maupun yang terikat ( pe-an dan me-kan ) dalam tata bahasa disebut morfem (dari kata morphe = bentuk, akhiran ¬ema¬ = yang mengandung arti). Jadi dalam bahasa Indonesia kita dapati dua macam morfem yaitu:
a. Morfem dasar atau morfem bebas , seperti: kerja, puas, bapak, kayu, rumah, tidur, bangun, sakit, pendek, dan lain-lain.
b. Morfem terikat , seperti: pe-, -an, pe-an, ter-, ber-, me-, dan lain-lain.
Dalam tata bahasa Indonesia morfem dasar atau morfem bebas itu disebut kata dasar , sedangkan morfem terikat disebut imbuhan.
Batasan: Morfem adalah kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata dan yang dapat dibedakan artinya.
B. Alomorf
Dalam merealisasikan morfem-morfem tersebut, pada suatu ketika kita sampai kepada suatu kenyataan bahwa morfem-morfem itu dapat juga mengalami variasi atau perubahan bentuk. Misalnya morfem ber- dalam bahasa Indonesia dalam realisasinya dapat mengambil bermacam-macam bentuk:
ber- be- bel-
berlayar bekerja belajar
bersatu berambut
bergirang beruang
berdiri berakit dan lain-lain.
Perubahan bentuk ber- menjadi be- atau bel- disebabkan oleh lingkungan yang dimasukinya. Bila ber- memasuki suatu lingkungan kata yang mengandung fonem /r/ dalam suku kata pertama, maka fonem /r/ dalam morfem ber- itu ditanggalkan. Dalam suatu kesempatan unsur /r/ itu berubah menjadi /l/. Bentuk-bentuk variasi dari pada morfem itu disebut alomorf .
Batasan: Alomorf adalah variasi bentuk dari suatu morfem disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang dimasukinya.
Dalam Morfologi atau Ilmu Bentuk Kata dibicarakan bagaimana hubungan antara morfem dengan morfem, antara morfem dengan alomorf, serta bagaimana pula menggabungkan morfem-morfem itu untuk membentuk suatu kata.
Kata Benda atau Nomina
Kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan. Selanjutnya kata-kata benda, menurut wujudnya, dibagi atas:
1. Kata benda konkrit, dan
2. Kata benda abstrak.
Kata-kata benda konkrit adalah nama dari benda-benda yang dapat ditangkap dengan pancaindera, sedangkan kata benda abstrak adalah nama-nama benda yang tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Kata benda konkrit selanjutnya dibagi lagi atas:
1. Nama diri
2. Nama zat dan lain sebagainya.
Dalam persoalan kata benda, bahasa-bahasa Barat, khususnya bahasa Yunani-Latin, mempunyai ciri-ciri yang khusus untuk menunjukkan bahwa kata tersebut adalah kata benda. Ciri-ciri itu meliputi:
1. Perubahan bentuk berdasarkan fungsi kata itu dalam sebuah kalimat ( Casus ).
2. Perubahan bentuk berdasarkan jumlah dari kata benda itu ( Numerus ). Bahasa Latin mengenal dua numeri: Singularis dan Pluralis atau Tunggal dan Jamak, sedangkan bahasa-bahasa Yunani dan Sansekerta mengenal tiga numeri: Singularis, Dualis dan Pluralis.
3. Jenis kata dari kata benda itu (genus atau gender).
Semua ciri itu tidak bisa diterapkan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia tidak menganal akan adanya casus, tidak mengenal akan adanya numerus juga tidak mengenal genus . Kita tidak perlu merasa bahwa bahasa Indonesia kekurangan sesuatu atau miskin akan sesuatu bentuk atau konsep. Tiap bahasa memiliki sifat-sifat yang khas. Sistem bahasa Indonesia dalam dirinya sendiri cukup sempurna untuk mengungkapkan segala sesuatunya sebagai pendukung kebudayaan bangsa Indonesia . Untuk itu perlu kita menggali (bukan meniru-niru) ciri-ciri yang masih tersembunyi dalam struktur bahasa ini, untuk dijadikan ciri kata bendanya. (Lihat Kata Benda pada Pembagian Jenis Kata Baru)
Kata Kerja atau Verba
Kata kerja adalah semua kata yang menyatakan perbuatan atau laku. Bila suatu kata kerja menghendaki adanya suatu pelengkap maka disebut kata kerja transitif , seperti memukul, menangkap, melihat, mendapat, dan sebagainya. Sebaliknya, bila kata kerja tersebut tidak memerlukan suatu objek maka disebut kata kerja intransitif , seperti menangis, meninggal, berjalan, berdiri dan sebagainya.
Kata-kata dalam bahasa Yunani, Latin, Sansekerta jelas bias ditentukan sebagai kata kerja karena mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu bentuk verbal-finit . Bentuk verbal-finit adalah bentuk yang khusus yang hanya bias diambil oleh sebuah kata kerja. Bentuk finit (yang sudah dibatasi) dari suatu kata kerja tergantung dari beberapa hal berikut, yang sekaligus mengharuskan kita memakai bentuk-bentuk yang sesuai dengan itu, yaitu:
1. Berdasarkan persona (orang: I, II, III/tunggal dan jamak)
2. Berdasarkan ragamnya (pasif-aktif).
3. Berdasarkan kalanya ( tempus, tense ).
4. Berdasarkan cara ( modus : indikatif, impertaif, desideratif dan sebagainya).
Perubahan bentuk kata kerja berdasarkan keempat hal di atas disebut konjugasi . Sedangkan perubahan, baik pada kata-kata benda (deklinasi) maupun pada kata-kata kerja (konjugasi) bersama-sama disebut fleksi . Itulah sebabnya bahasa-bahasa Barat disebut juga bahasa-bahasa Fleksi.
Di samping perubahan bentuk-bentuk tersebut, bentuk-bentuk in-finitnya menunjukkan cirri-ciri khusus, yang sekaligus menjadi tanda pengenal bahwa kata tersebut adalah kata kerja. Misalnya semua kata yang berakhiran –are, -ere, -ere, dan ire- adalah kata kerja. Jadi jika kita menemukan kata seperti amare, cantare, delere, regere, dormire, dan lain-lain kita akan dapat memastikan bahwa kata-kata itu adalah kata kerja, walaupun kita tidak mengetahui artinya. Dengan demikian kata aegrotare yang berarti sakit dalam bahasa Latin akan langsung kita golongkan dalam kata kerja, tanpa melihat artinya. Tetapi bagaimana dengan kata sakit dalam bahasa Indonesia ?
Oleh karena itu, kita harus mencari ciri-ciri untuk mejadi pegangan kata kerja dalam bahasa Indonesia. (Lihat Kata Kerja pada Pembagian Jenis Kata Baru)
Kata Sifat atau Adjektif
Menurut Aristoteles, kata sifat adalah kata yang menyatakan sifat atau hal keadaan dari suatu benda: tinggi, rendah, lama, baru, dan sebagainya.
Adjektif dalam bahasa-bahasa Barat selalu harus selaras dengan kata benda yang diikuti dalam tiga hal, yaitu:
1. dalam casus nya;
2. dalam jumlahnya (numerus);
3. dan dalam jenis kata (genus).
Adjektif selanjutnya dapat mengambil bentuk-bentuk yang istimewa bila ditempatkan dalam tingkat-tingkat perbandingan (gradus comparationis), untuk membandingkan suatu keadaan dengan keadaan yang lain. Taraf-taraf perbandingan itu adalah:
1. Tingkat biasa atau gradus positivus.
2. Tingkat lebih atau gradus comparativus.
3. Tingkat paling atau gradus superlativus.
Selain dari ketiga tingkat perbandingan ini masih ada satu hal yang lain yaitu: keadaan yang sangat tinggi derajatnya, tetapi dengan tidak mengadakan perbandingan dengan urutan-urutan keadaan yang lain. Derajat semacam ini disebut elatif, misalnya:
- Yang terpenting, ialah memilih kawan-kawan yang dapat dipercaya.
- Gunung itu terlalu tinggi.
Kedudukan jenis kata ini jelas dalam bahasa-bahasa Barat. Kata-kata ini bias dikenal segera karena bentuknya yang khusus yang diambil berdasarkan kata benda yang diikutinya (dalam hal genus, numerus, dan casus) maupun berdasarkan tingkat-tingkat perbandingannya.
Apakah bahasa Indonesia juga memiliki ciri-ciri khusus untuk menentukan bahwa suatu kata adalah kata sifat? (Lihat Kata Sifat pada Pembagian Jenis Kata Baru)
Kata Dasar
Umumnya kata dasar dalam bahasa Indonesia, dan juga semua bahasa yang serumpun dengan bahasa Indonesia, terjadi dari dua suku kata; misalnya: rumah, lari, nasi, padi, pikul, jalan, tidur dan sebagainya. Seorang ahli bahasa Jerman, Otto von Dempwolff, dalam penelitiannya tentang bahasa Indonesia telah menetapkan dua macam pola susunan kata dasar dalam bahasa Indonesia. Pola itu disebutnya Pola Kanonik atau Pola Wajib , yaitu:
1. Pola Kanonik I: K-V-K-V, maksudnya tata susun bunyi yang membentuk suatu kata dasar terdiri dari: Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal, misalnya: padi, lari, paku, tiga, dada, dan sebagainya.
2. Pola Kanonik II: K-V-K-V-K, maksudnya di samping Pola Kanonik I kata-kata dasar Indonesia dapat juga tersusun dari Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal-Konsonan, misalnya: rumah, tanah, batang, sayap, larang, dan lain-lain.
Kita tidak menyangkal akan apa yang telah dikemukakan oleh von Dempwolff. Tetapi, andaikata kita menerima secara mutlak Pola Kanoniknya itu sebagai dasar yang absolut, maka bagaimana kita harus menerapkan kata-kata seperti tendang, banting, panggil, aku, api, anak, dan lain-lain? Berarti kita sekurang-kurangnya menambahkan beberapa macam rumus lagi agar bisa menampung semua kata dasar yang terdapat dalam bahasa Indonesia, misalnya: K-V-K-K-V-K, V-K-V-K, V-K-V. Dan semua rumus ini sekurang-kurangnya baru mengenai kata-kata dasar. Jika kita membahas kata-kata pada umumnya, tentu akan lebih banyak lagi.
Oleh karena itu kita mengambil suatu dasar lain yang lebih sempit yaitu berdasarkan suku kata ( silaba ). Bila kita berusaha untuk memecah-mecahkan kata dasar bahasa Indonesia menjadi sukukata-sukukata, maka kta akan sampai kepada satu kesimpulan bahwa ada tiga macam struktur sukukata dalam bahasa Indonesia yaitu: V, V-K, K-V , dan K-V-K . Dengan demikian kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dibentuk dari kemungkinan-kemungkinan gabungan dari ketiga jenis silaba itu, misalnya:
ru - mah (K-V + K-V-K)
ka - ta (K-V + K-V)
a - pa (V + K-V)
lem - but (K-V-K + K-V-K)
na - ik (K-V + V-K)
a - ir (V + V-K) dan lain-lain.
A. Akar Kata
Jika kita memperhatikan lagi dengan cermat akan bentuk-bentuk kata dasar, tampaklah bahwa ada banyak kata yang memiliki bagian yang sama. Seorang ahli bahasa dari Austria bernama Renward Brandsetter telah mencurahkan minatnya sepenuhnya dalam hal ini. Ia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kata-kata dasar dalam bahasa Indonesia dalam sejarah pertumbuhannya, pernah terbentuk dari suatu unsur yang lebih kecil yang disebut akar kata . Kata-kata seperti bukit, rakit, bangkit, ungkit, dan lain-lain dapat dipulangkan kepada suatu unsur dasar yaitu vkit.
Dengan demikian dalam bahasa Indonesia kita mendapat bermacam-macam akar kata seperti:
vtun : tuntun, santun, pantun.
vtas : batas, atas, pentas, petas, retas , dan lain-lain. .
vlut : kalut, balut, salu, belut, dan lain-lain.
vlit : lilit, kulit, sulit, belit, dan lain-lain.
Kata Bilangan atau Numeralia
Kata Bilangan adalah kata yang menyatakan jumlah benda atau jumlah kumpulan atau urutan tempat dari nama-nama benda.
Menurut sifatnya kata bilangan dapat dibagi atas:
1. Kata Bilangan Utama (Numeralia Caedinalia): satu, dua, tiga, empat, seratus, seribu, dan sebagainya.
2. Kata Bilangan Tingkat (Numeralia Ordinalis): pertama, kedua, ketiga, kelima, kesepuluh, keseratus, dan sebagainya.
3. Kata Bilangan Tak Tentu: beberapa, segala, semua, tiap-tiap dan sebagainya.
4. Kata Bilangan Kumpulan: kedua, kesepuluh, dan sebagainya; bertiga, berdua, bersepuluh.
Catatan :
a. Dari segi morfologi tidak ada perbedaan antara kata bilangan tingkat dan kata bilangan kumpulan yang memakai prefiks ke-. Tetapi dalam distribusi kalimat nampaklah perbedaan struktur keduanya, yaitu kata bilangan tingkat tempatnya selalu mengikuti kata benda sedangkan kata bilangan kumpulan selalu mendahului kata benda.
Kata bilangan tingkat Kata bilangan kumpulan
bangku yang kedua kedua bangku itu
permainan kesepuluh kesepuluh permainan itu
soal yang ketiga ketiga soal itu
b. Mengenai kata bilangan utama, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:
1. Kata-kata delapan, sembilan, bukanlah kata bilangan utama asli, tetapi merupakan kata jadian yang kini sudah tidak dirasakan lagi.
Kata-kata tersebut berasal dari:
Delapan > dua alapan (= dua ambilan, yaitu dua diambil dari sepuluh).
Sembilan > sa ambilan (= diambil satu dari sepuluh)
2. Orang-orang Nusantara dahulu mengenal bilangan yang paling tinggi hanya sampai ribuan. Akibat adanya kontak dengan negeri-negeri lain, terutama India, mereka menerima bilangan yang lebih tinggi dari ribuan. Karena perkenalan mereka dengan orang-orang India, mereka memasukkan kata-kata laksa, keti, dan juta. Tetapi pada mulanya dalam bahasa Sansekerta kata-kata itu mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi yaitu:
Laksa : Sansekerta : 100.000
Keti : Sansekerta : 10.000.000
Bagi orang-orang Nusantara waktu itu, bilangan itu terlalu samar-samar, sedangkan di pihak lain mereka memerlukan istilah untuk bilangan genap sesudah seribu; karena itu laksa diturunkan nilanya menjadi 10.000, sedangkan keti diturunkan menjadi 100.000.
3. Bilangan yang lebih dari satu juta biasanya dipinjam dari istilah-istilah Barat. Namun ada dua sistem yang biasa digunakan yaitu system Perancis dan Amerika, yang diikuti Indonesia , dan sistim Inggris dan Jerman.
4. Kata bilangan biasanya ditulis dengan angka Arab, dan dalam hal tertentu dipergunakan juga angka Romawi.
KATA BANTU BILANGAN
Dalam menyebut berapa jumlah suatu barang, dalam bahasa Indonesia tidak saja dipakai kata bilanganm tetapis elalu dipakai suatu kata yang menerangkan sifat atau macam barang itu. Kata-kata semacam itu disebut kata bantu bilangan.
Di antara kata-kata bantu bilangan yang selalu atau sering dipakai dalam bahasa Indonesia adalah:
Orang : untuk manusia.
Ekor : untuk binatang.
Buah : untuk buah-buahan, dan macam-macam benda atau hal yang lain pada umumnya.
Batang : untuk barang-barang yang bulat panjang bentuknya seperti pohon, rokok dan lain-lain.
Bentuk : untuk barang-barang yang dapat dibengkokkan atau dilenturkan seperti cincin, mata kail, gelang dan sebagainya.
Belah : untuk barang-barang yang mempunyai pasangan seperti mata, telinga, dan sebagainya.
Bidang : untuk barang-barang yang luas dan rata seperti tanah.
Helai : untuk kertas, daun, baju, kain, dan lain-lain.
Bilah : untuk barang-barang tajam seperti pisau, pedang, keris, dan sebagainya.
Utas : untuk barang-barang yang panjang seperti tali, benang, rantai, dan sebagainya.
Potong : untuk bagian-bagian atau potongan dari suatu barang.
Butir : untuk benda-benda yang bundar kecil bentuknya seperti telur, intan, beras, dan sebagainya.
Tangkai : untuk bunga.
Pucuk : untuk surat , meriam, senapan.
Carik : untuk sobekan-sobekan kertas, kain, dan sebagainya.
Rumpun : untuk tumbuh-tumbuhan yang tumbuhnya berkelompok seperti tebu, bambu, dan sebagainya.
Keping : untuk barang-barang yang tipis seperti papan, mata uang.
Biji : untuk barang-barang yang kecil seperti mata, kerikil, dan sebagainya.
Kuntum : untuk bunga.
Patah : untuk kata.
Kaki : untuk bunga, payung.
Laras : untuk bedil, senapan.
Kata Keterangan atau Adverbia
Kata-kata Keterangan atau adverbia adalah kata –kata yang memberi keterangan tentang:
1. Kata Kerja
2. Kata Sifat
3. Kata Keterangan
4. Kata Bilangan
5. Seluruh Kalimat
Kata keterangan secara tradisional dapat dibagi-bagi lagi atas beberapa macam berdasarkan artinya atau lebih baik berdasarkan fungsinya dalam kalimat, yaitu:
A. Kata Keterangan Kualitatif (Adverbium Kualitatif)
Adalah Kata Keterangan yang menerangkan atau menjelaskan suasana atau situasi dari suatu perbuatan.
Contoh: Ia berjalan perlahan-perlahan
Ia menyanyi dengan nyaring
Biasanya Kata Keterangan ini dinyatakan dengan mempergunakan kata depan dengan + Kata Sifat. Jadi sudah tampak di sini bahwa Kata Keterangan itu bukan merupakan suatu jenis kata tetapi adalah suatu fungsi atau jabatan dari suatu kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat.
B. Kata Keterangan Waktu (Adverbium Temporal)
Adalah keterangan yang menunjukkan atau menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa dalam suatu bidang waktu: sekarang, nanti, kemarin, kemudian, sesudah itu, lusa, sebelum, minggu depan, bulan depan, dan lain-lain.
Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan waktu, sebab kata-kata tersebut tidak menunjukkan suatu bidang waktu berlangsungnya suatu tindakan, tetapi menunjukkan berlangsungnya suatu peristiwa secara obyektif.
C. Kata Keterangan Tempat (Adverbium Lokatif)
Segala macam kata ini memberi penjelasan atas berlangsungnya suatu peristiwa atau perbuatan dalam suatu ruang, seperti: di sini, di situ, di sana, ke mari, ke sana, di rumah, di Bandung, dari Jakarta dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas tyang secara konvensional dianggap Kata Keterangan Tempat, jelas tampak bahwa golongan kata ini pun bukan suatu jenis kata, tetapi merupakan suatu kelompok kata yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam kalimat. Keterangan Tempat yang dimaksudkan dalam Tatabahasa-tatabahasa lama terdiri dari dua bagian yaitu kata depan (di, ke, dari) dan kata benda atau kata ganti penunjuk.
D. Kata Keterangan Cara (Keterangan Modalitas)
Adalah kata-kata yang menjelaskan suatu peristiwa karena tanggapan si pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut. Dalam hal ini subyektivitas lebih ditonjolkan. Keterangan ini menunjukkan sikap pembicara, bagaimana cara ia melihat persoalan tersebut. Pernyataan sikap pembicara atau tanggapan pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut dapat berupa:
1. Kepastian : memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukannya, bukan.
2. Pengakuan : ya, benar, betul, malahan, sebenarnya.
3. Kesangsian : agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, dan lain-lain.
4. Keinginan : moga-moga, mudah-mudahan.
5. Ajakan : baik, mari, hendaknya, kiranya.
6. Larangan : jangan.
7. Keheranan : masakan, mustahil, mana boleh.
Catatan: Kata tidak menyatakan kepastian dengan mengingkarkan sesuatu, begitu juga kata bukan. kata tidak dipakai untuk menyatakan ingkaran biasa, ingkaran pada perbuatan, keadaan, hal atau segenap kalimat, sedangkan bukan menyatakan suatu pertentangan dan menyangkal bagian dari suatu kalimat.
Kata Sambung atau Konjuksi
Kata Sambung adalah kata yang menghubungkan kata-kata, bagian-bagian kalimat, atau menghubungkan kalimat-kalimat. Cara atau sifat menghubungkan kata-kata atau kalimat-kalimat itu dapat berlangsung dengan berbagai cara:
1. Menyatakan gabungan: dan, lagi pula, serta.
2. Menyatakan pertentangan: tetapi, akan tetapi, melainkan.
3. Menyatakan waktu: apabila, ketika, bila, bilamana, demi, sambil, sebelum, sedang, sejak, selama, semenjak, sementara, seraya, setelah, tatkala, waktu.
4. Menyatakan tujuan: supaya, agar.
5. Menyatakan sebab: sebab, karena, karena itu, sebab itu.
6. Menyatakan akibat: sehingga, sampai.
7. Menyatakan syarat: jika, andaikata, asal, asalkan, jikalau, sekiranya, seandainya.
8. Menyatakan pilihan: atau… atau…, …maupun, baik… baik…, entah… entah….
9. Menyatakan bandingan: seperti, bagai, bagaikan, seakan-akan.
10. Menyatakan tingkat: semakin… semakin…, kian… kian….
11. Menyatakan perlawanan: meskipun, biarpun.
12. Pengantar kalimat: maka, adapun, akan.
13. Menyatakan penjelas: yakni, umpama, yaitu.
14. Sebagai penetap sesuatu: bahwa.
Kata Depan atau Preposisi
Kata Depan menurut definisi tradisional adalah kata yang merangkaikan kata-kata atau bagian-bagian kalimat.
Kata-kata Depan yang terpenting dalam bahasa Indonesia ialah:
1. Di, Ke, Dari: ketiga macam kata depan ini dipergunakan untuk merangkaikan kata-kata yang menyatakan tempat atau sesuatu yang dianggap tempat.
2. Pada: bagi kata-kata yang menyatakan orang, nama orang atau nama binatang, nama waktu atau kiasan dipergunakan kata pada untuk menggantikan di, atau kata-kata depan lain yang digabungkan dengan pada seperti daripada, kepada.
3. Selain daripada itu terdapat Kata Depan yang lain, seperti: di mana, di sini, di situ, akan, oleh, dalam, atas, demi, guna, untuk, buat, berkat, terhadap, antara, tentang, hingga, dan lain-lain. Di samping itu ada beberapa Kata Kerja yang dipakai pula sebagai kata depan, yaitu: menurut, menghadap, mendapatkan, melalui, menuju, menjelang, sampai.
Ada beberapa Kata Depan yang menduduki bermacam-macam fungsi yang istimewa, yang perlu kita beri perhatian, antara lain:
1. Akan
Kata Depan akan dapat menduduki beberapa macam fungsi:
a. Pengantar obyek
Contoh: Ia tidak tahu akan hal itu.
Aku lupa akan semua kejadian itu.
b. Untuk menyatakan kejadian di masa yang akan datang.
Contoh: Saya akan pergi ke Surabaya .
c. Sebagai penguat atau penekan; dalam hal ini dapat berfungsi sebagai penentu.
Contoh: Akan hal itu kita perundingkan kelak.
2. Dengan
Kata Depan dengan dapat menduduki beberapa macam fungsi, antara lain:
a. Untuk menyatakan alat (instrumental).
Contoh: Ia memukul anjing itu dengan tongkat.
b. Menyatakan hubungan kesertaan (komitatif).
Contoh: Ia berangkat ke sekolah dengan teman-temannya.
c. Membentuk adverbial kualitatif.
Contoh: Perkara itu diselidiki dengan cermat.
d. Dipakai untuk menyatakan keterangan komparatif.
Contoh: Adik sama tinggi dengan Ali.
3. Atas
Arti dan fungsi:
a. Membentuk keterangan tempat, dalam hal ini sama artinya dengan di atas .
Contoh: Kami menerima tanggung jawab itu di atas pundak kami.
b. Menghubungkan Kata Benda atau Kata Kerja dengan keterangan.
Contoh: Kami mengucapkan terimakasih atas kerja samanya.
c. Dipakai di depan beberapa kata dengan arti dengan atau demi .
Contoh: atas nama atas kehendak
atas desakan atas kemauan
4. Antara
Arti dan fungsi:
a. Sebagai penunjuk jarak.
Contoh: Jarak antara Surabaya dan Jakarta .
b. Sebagai penunjuk tempat, dalam hal ini sama artinya dengan di antara .
Contoh: Antara murid-murid itu, mana yang terpandai?
c. Dapat pula berarti kira-kira.
Contoh: Antara lima enam pekan ia meninggalkan pelajarannya.
Kata Sandang atau Artikel
Kata Sandang itu tidak mengandung suatu arti, tetapi memiliki fungsi. Dalam bagian mengenai kata ganti penghubung sudah dibicarakan pula tentang yang, yang pada mulanya hanya mengandung fungsi penentu . Itulah fingsi pertama dari Kata-kata Sandang.
Adapun fungsi Kata Sandang seluruhnya dapat disusun sebagai berikut:
1. Menentukan kata benda.
2. Menstubstansikan suatu kata: yang besar, yang jangkung, dan sebagainya.
Kata-kata Sandang yang umum dalam bahasa Indonesia adalah yang, itu, nya, si, sang, hang, dang . Kata-kata sang, hang dan dang banyak digunakan dalam kesusastraan lama; sekarang amat jarang digunakan lagi, kecuali sang , yang kadang-kadang digunakan untuk mengagungkan, kadang untuk menyatakan ejekan atau ironi.
Kata Seru atau Interjeksi
Oleh semua ahli tatabahasa, Kata Seru dianggap sebagai kata yang paling tua dalam kehidupan bahasa. Umat manusia tidak sekaligus mengenal sistem bahasa seperti saat ini. Dari awal mula perkembangan umat manusia, sedikit demi sedikit diciptakan sistem-sistem bunyi untuk komunikasi antar anggota masyarakat. Dan bentuk yang paling tua yang diciptakan untuk mengadakan hubungan atau komunikas itu adalah kata seru.
Menurut Tatabahasa Tradisional kata seru diklasifikasikan sebagai suatu jenis kata. Bila melihat wujud dan fungsinya, maka ketetapak tersebut kurang dapat diterima. Interjeksi sekaligus mengungkapkan semua perasaan dan maksud seseorang, berarti interjeksi sudah termasuk dalam bidang sintaksis. Atau dengan kata lain apa yang dinamakan kata seru itu bukanlah kata melainkan semacam kalimat.
Bermacam-macam interjeksi yang dikenal hingga sekarang dalam kehidupan masyarakat bahasa Indonesia adalah:
1. Interjeksi asli: yah, wah, ah, hai, o, oh, cih, nah, dan lain-lain.
2. Interjeksi yang berasal dari kata-kata biasa. Yang dimaksud dengan interjeksi ini adalah kata-kata benda atau kata-kata lain yang digunakan atau biasa digunakan sebagai kata seru: celaka, masa, kasihan, dan lain-lain.
3. Interjeksi yang berasal dari ungkapan-ungkapan, baik ungkapan Indonesia asli maupun ungkapan asing: ya ampun, Insya Allah, Astaghfirullah, dan lain-lain.
Morfologi III - Imbuhan
1. Prefiks atau awalan
Prefiks atau awalan adalah suatu unsur yang secara struktural diikatkan di depan sebuah kata dasar atau bentuk dasar.
2. Sufiks atau akhiran
Sufiks atau akhiran adalah semacam morfem terikat yang dilekatkan di belakang suatu morfem dasar.
3. Konfiks
Konfiks adalah gabungan dari dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk satu arti.
Di sini perlu ditegaskan bahwa antara konfiks dan gabungan imbuhan ada perbedaan besar. Pada gabungan imbuhan tiap-tiap unsur tetap mempertahankan arti dan fungsinya masing-masing. Bentuk-bentuk seperti mempercepat, mempersatukan, dibesarkan, san lain-lain masing-masing mengandung makna dan fungsi tersendiri. Imbuhan me + per, me + per + kan, dan di + kan di sini bukanlah konfiks tetapi merupakan gabungan imbuhan dari prefiks dan sufiks.
Sebaliknya, bentuk-bentuk seperti pertahanan, kebesaran, permainan, dan lain-lain mengandung struktur yang berbeda dengan bentuk-bentuk di atas. Karena di sini bentuk per – an dan ke – an tidak dapat ditafsirkan secara tersendiri, tatapi bersama-sama membentuk satu arti dan bersama-sama pula membentuk satu fungsi. Bantuk ini dalam realisasinya terbelah, tetapi pembelahan itu tidak mengurangi hakekatnya sebagai satu morfem. Morfem semacam ini desibut morfem terbelah. Bentuk-bentuk semacam ini tidak janggal dalam bahasa Indonesia. Kata-kata seperti tali, gunung, dan lain-lain juga jelas merupakan satu kesatuan tetapi kadang-kadang bentuk itu mengalami proses pembelahan yaitu ketika disisipkan infiks –em padanya, menjadi temali dan gemunung. Proses pembelahan pada kata atau morfem terikat bukan persoalan baru, tetapi tidak pernah diberi tempat yang wajar. Oleh karena itu Tatabahasa Tradisional memperlakukan konfiks-konfiks sebagai gabungan biasa dari prefiks dan sufiks. Kita harus memulangkan kedudukannya yang sebenarnya sebagai suatu bentuk (morfem) dengan satu kesatuan fungsi dan arti.
4. Gabungan Imbuhan
Gabungan imbuhan adalah pemakaian beberapa imbuhan sekaligus pada suatu kata dasar, yang masing-masing mempertahankan arti dan fungsinya. Imbuhan-imbuhan yang biasa dipakai bersama-sama adalah: me-kan, mem-per-kan, di-per-kan, ter-kan, ber-kan, dan lain-lain.
5. Infiks
Infiks adalah semacam morfem terikat yang disispkan pada sebuah kata antara konsonan pertama dan vokal pertama. Jenis morfem ini sekarang tidak produktif lagi; pemakaiannya terbatas pada beberapa kata saja. Infiks yang ada dalam bahasa Indonesia hanyalah: -el, -er, dan –em.
Kata Ulang
Kata ulang disebut juga reduplikasi.
1. Macam-Macam Kata Ulang
Berdasarkan macamnya bentuk perulangan dalam bahasa Indonesia dapat kita bagi menjadi empat macam:
a. Reduplikasi atas suku kata awal, atau di sebut juga dwipurwa. Dalam bentuk perulangan ini vokal dari suku kata awal mengalami pelemahan dan bergeser ke posisi tengah menjadi e (pepet).
Contoh: tatangga > tetangga
luluhur > leluhur
luluasa > leluasa
b. Reduplikasi atas seluruh bentuk dasar. Ulangan ini di sebut ulangan utuh. Ulangan utuh ada dua macam, yaitu ulangan atas bentuk dasar yang berupa kata dasar atau disebut juga dwilingga, dan ulangan atas bentuk dasar berupa kata jadian berimbuhan.
Contoh: rumah > rumah-rumah kejadian > kejadian-kejadian
anak > anak-anak pencuri > pencuri-pencuri
c. Reduplikasi yang juga terjadi atas seluruh suku kata, namun pada salah satu lingganya terjadi perubahan suara pada suatu fonem atau lebih. Perulangan macam ini disebut dwilingga salin suara.
Contoh: gerak-gerak > gerak-gerik
sayur-sayur > sayur-mayur
d. Reduplikasi dengan mendapat imbuhan, baik pada lingga pertama maupun pada lingga kedua. Ulangan macam ini disebut ulangan berimbuhan.
Contoh: bermain-main, berkejar-kejaran, melihat-lihat, tarik-menarik.
2. Fungsi
Kata ulang berfungsi sebagai alat untuk membentuk jenis kata, dan dapat dikatakan bahwa perulangan sebuah kata akan menurunkan jenis kata yang sama seperti bila kata itu tidak diulang.
3. Arti
Adapun arti yang dapat didukung oleh perulangan adalah:
a. Mengandung arti banyak yang tak tentu.
Contoh: Ayah membelikan saya sepuluh buah buku (banyak tentu)
Buku-buku itu telah kusimpan dalam lemari (banyak tak tentu)
b. Mengandung arti bermacam-macam.
Contoh: pohon-pohonan, buah-buahan.
c. Menyerupai atau tiruan dari sesuatu.
Contoh: kuda-kuda, anak-anakan, langit-langit.
d. Melemahkan arti, dalam hal ini dapat diartikan dengan agak.
Contoh: Sifatnya kekanak-kanakan.
Ia berlaku kebarat-baratan.
Orang itu sakit-sakitan.
e. Menyatakan intensitas, baik kualitas, kuantitas, maupun frekuensi.
i) Intensitas kualitatif: Pukullah kuat-kuat.
Belajarkah segiat-giatnya.
ii) Intensitas kuantitatif: kuda-kuda, rumah-rumah.
iii) Intensitas frekuentatif: Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia mondar-mandir sejak tadi.
f. Menyatakan arti saling, atau pekerjaan yang berbalasan.
Contoh: Keduanya bersalam-salaman.
Dalam perkelahian itu terjadi tikam-menikam antara kedua orang tersebut.
g. Perulangan pada kata bilangan mengandung arti kolektif.
Contoh: dua-dua, tiga-tiga, lima-lima.
4. Ada beberapa kata yang selintas tampaknya seolah-olah merupakan kata ulang seperti biri-biri dan kupu-kupu. Kata-kata kupu-kupu dan biri-biri keseluruhannya merupakan kata dasar, bukan kata ulang. Dalam pemakaian sehari-hari dalam bahasa Indonesia tidak terdapat bentuk seperti biri dan kupu.
Kata Majemuk
Kata Majemuk atau Kompositum adalah gabungan dari da kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan arti.
Pada umumnya struktur kata majemuk sama seperti kata biasa yaitu tidak dapat dipecahkan lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil. Contoh: saputangan, matahari, orangtua, kakitangan, dan lain-lain. Namun pada kenyataannya, ada bentuk kata yang lazimnya dianggap sebagai kata majemuk, masih menunjukkan struktur yang renggang, dalam artian masih dapat dipisahkan oleh unsure-unsur lain.
Contoh: rumah makan = at dipulangkan kepada frase rumah tempat makan.
1. Terjadinya Kata Majemuk
Jika kata-kata itu masih dapat dikembalikan ke dalam bentuk-bentuk yang lain, mengapa sampai digolongkan sebagai kata majemuk?
Untuk mendapat suatu gambaran yang jelas, kita harus meninjau sejarah terbentuknya kata-kata maemuk tersebut. Menurut sejarah kata-kata majemuk itu pada mulanya merupakan urutan kata yang bersifat sintaksis. Dalam urutannya yang bersifat sintaksis tadi, tiap-tiap bentuk mengandung arti yang sepenuhnya sebagai sebuah kata. Tetapi lambat laun karena sering dipakai, hubungan sintaksis itu menjadi beku; dan sejalan dengan gerak pembekuan tersebut, bidang arti yang didukung tiap-tiap bentuk juga lenyap dan terciptalah bidang arti baru yang didukung bersama. Dan dalam proses ini tidak semua urutan itu telah sampai kepada taraf terakhir. Ada urutan kata yang masih dalam gerak ke arah pembekuan, ada yang sudah sampai kepada pembekuan itu yang masih dalam gerak itu dapat disebabkan karena gabungan itu memang sifatnya sangat longgar atau karena istilah tersebut baru saja tercipta.
Kata-kata yang masih dalam gerak inilah yang masih dapat dipecahkan strukturnya dengan meyisipkan kata-kata lain di antaranya, atau dapat dikembalikan kepada bentuk lain dengan cara transformasi. Tetapi karena frekuensi pemakaian tinggi, serta keterangan yang menerangkan bentuk itu harus selalu mengenai kesatuannya, maka kata-kata tersebut dimasukkan juga ke dalam kata majemuk.
Contoh: Rumah makan, walaupun strukturnya agak longgar, namun sering dipakai sebagai satu kesatuan arti; di samping itu keterangannya harus menerangkan keseluruhannya. Rumah makan yang baru; ‘yang baru' bukan menerangkan makan saja atau rumah saja, tetapi seluruh kesatuan itu.
2. Sifat Kata Majemuk
Berdasarkan sifat kata majemuk dengan melihat adanya inti dari pada kesatuan itu, maka kata majemuk dapat dibagi atas:
a. Kata majemuk yang bersifat eksosentris.
b. Kata majemuk yang bersifat endosentris.
Kata majemuk yang bersifat eksosentris adalah kata majemuk yang tidak mengandung satu unsure inti dari gabungan itu. Dengan kata lain kedua-duanya merupakan inti. Contoh: tuamuda, hancurlebur, kakitangan, dan lain-lain.
Sebaliknya, jika ada satu unsur yang menjadi inti dari gabungan itu maka sifatnya endosentris. Contoh: saputangan, orangtua, matahari, dan lain-lain, dimana sapu, orang, dan mata merupakan unsur intinya.
4. Ciri-ciri Kata Majemuk
Ciri kata majemuk antara lain sebagai berikut:
a. Gabungan itu membentuk satu arti yang baru.
b. Gabungan itu dalam hubungannya ke luar membentuk satu pusat, yang menarik keterangan atas kesatuan itu, bukan atas bagian-bagiannya.
c. Biasanya terdiri dari kata-kata dasar.
d. Frekuensi pemakaiannya tinggi.
e. Terutama kata-kata majemuk yang bersifat endosentris, terbentuk menurut hokum DM (Diterangkan mendahului Menerangkan).
5. Bentuk Perulangan pada Kata Majemuk
Pada dasarnya karena kata-kata majemuk membentuk suatu kesatuan maka bentuk-ulangnya harus secara penuh yaitu diulang keseluruhannya.
Contoh: rumah sakit-rumah sakit, saputangan-saputangan
Tetapi seringkali kita menjumpai hal-hal yang sebaliknya yaitu perulangan yang dilakukan bukan atas keseluruhannya melainkan hanya sebagian saja.
Contoh: rumah-rumah sakit, sapu-sapu tangan
Mengapa terjadi demikian?
Dalam pemakaian bahasa sehari-hari ada kecenderungan untuk mengadakan penghematan dalam pemakaian bahasa, dasar ekonomis. Dasar ekonomis ini hanya dapat digunakan bila gerak yang berlawanan itu tidak membawa perbedaan paham. Dalam hubungan ini agaknya dapat dijelaskan oleh kata ulang dwipurwa dalam bahasa Indonesia, yakni mula-mula orang mengulang seluruhnya, tetapi karena prinsip ekonomis tadi, akhirnya hanya sebagian saja dari lingga yang diulang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar